Selepas shalat Isya pak Guntur duduk di ruang tamu, sambil membaca sebuah buku kecil pemberian ustadz Hamdi yang selalu setia dan sabar menemaninya berdiskusi mengenai agama Islam. Bagi dia pengetahuan tentang Islam adalah sesuatu yang baru, walaupun usianya sudah mencapai setengah abad, dan dikatepenya tertulis beragama Islam.Kehadiran ustadz Hamdi yang awalnya sengaja di panggil untuk mengajari anaknya, membawa keberuntungan dan keberkahan pula untuk dirinya. Dia jadi ikut belajar, bahkan dia meminta waktu tersendiri khusus untuknya. Kalau anaknya di malam Minggu, dia di malam Sabtu.Ketika pak Guntur menutup buku karena sudah selesai dibaca, tiba-tiba Lisa dan ibunya datang.“Pa… ! Mama dan Lisa pergi dulu, ya !” Ucap isterinya.“Ini air buat pak ustadz, pa !” Kata Lisa sambil meletakan Gelas gentong di atas meja.“Kalian mau pada kemana, sih ? Bukanya ikut ngaji “ Kata pak Guntur.“Tar mengganggu konsentrasi papa…,” Jawab isterinya.“Alasan ….”“Sebentar kok, pa….” Ucap Lisa.“Iya….., Papa selesai ngaji juga, kita dah pulang.” Ibunya menguatkan.“Ya sudah…., hati-hati di jalan !”“Iya, pa… “ Jawab Lisa.“Assalamu alaikum !” Keduanya mengucapkan salam berbarengan.“Wa alaikum salam !” Jawab pak Guntur.Lisa dan ibunya keluar sambil mendorong sepeda motor sampai ke depan rumah. Kemudian dia menghidupkan motor. Setelah ibunya naik, diapun menjalankan motornya meninggalkan papanya.Beberapa saat setelah Lisa dan ibunya pergi ustadz Hamdi datang dengan mengendarai sepeda motor.“Assalamu alaikum !” Ucap ustadz Hamdi setelah turun dari motornya.“Waalaikumsalam !” Jawab pak Guntur sambil menyodorkan tangan kanan nya untuk bersalaman. “Apa kabar, pak ustadz ?” Tanyanya.“Alhamdulillah. Tumben pintunya terbuka ?”“Barusan Lisa dan ibunya pamitan pada saya, mau keluar dulu katanya.”“Oooh…!”“Silahkan duduk, pak !”“Terima kasih !”“Ini air sudah disiapkan oleh Lisa, untuk bapak.” Ucap pak Guntur sambil menyodorkan gelas berisikan teh manis.“Terima kasih. Oh iya, apa yang akan kita diskusikan malam ini ?” Tanya ustadz Hamdi mengawali pembicaraan yang mengarah pada pembelajaran.“Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran saya.“ Ucap pak Guntur“Apa itu, pak ?” Tanya ustadz Hamdi dengan tenang.“Saya pernah dengar bahwa nabi Muhammad itu adalah nabi yang ummiy.”“Iya…., itu benar.” Ustadz Hamdi membenarkan.“Apa artinya ummiy ?”“Menurut bahasa Ummiy artinya tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.”“Tidak bisa baca tulis ?” Pak Guntur nampak kelihatan kaget.“Iya…”“Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa baca tulis bisa diangkat menjadi nabi ?” Lagi-lagi pak Guntur memperlihatkan keraguanya.“Tidak bisa baca tulis bukan berarti bodoh, pak.” Ustadz Hamdi mencoba menjelaskan.“Tapi…., bukti dilingkungan kita ya begitu, pak.”“Saya bisa buktikan kalau nabi Muhammad SAW itu tidak bodoh.”“Coba…, Tunjukan pada saya !” Pak Guntur menantang“Nabi Muhammad SAW memiliki empat sifat mulia, yaitu shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh.”“Apa itu ?”“Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang benar dalam perkataan dan perbuatannya, jujur dalam mengemban amanah, cerdas dalam melakukan tindakan, dan selalu menyampaikan apa yang seharusnya beliau sampaikan.”“Apa bapak bisa menunjukan buktinya ?”“Nabi Muhammad SAW telah dipercaya oleh masyarakat Arab Quraisy, jauh sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Bahkan beliau mendapatkan gelar al-amin dari mereka.”“Apa artinya al amin ?” Tanya pak Guntur.“Al-amin artinya orang yang jujur dan dapat dipercaya. Saking percayanya…, orang yang berada di pihak musuh kelompok nabi Muhammad SAW, pernah menitipkan barangnya kepada beliau.”“Musuhnya menitipkan barang kepada dia ?”“Iya…”“Apakah ada referensi yang menguatkan pernyataan itu ?” Tanya pak Guntur.“Informasi tersebut ada pada buku sejarah kehidupan beliau. Yang dikenal dengan sebutan siroh nabawiyah. Kalau bapak mau, nanti saya tunjukan bukunya.”Tegas ustadz Hamdi.“Oke…, sekarang ingin tahu bukti kecerdasanya.”“Ketika selesai pemugaran Ka’bah, semua kelompok suku dikalangan bangsa Arab berebut ingin meletakan hajar aswad ke tempatnya. Hampir-hampir mereka bertikai dikarenakan ego mereka masing-masing. Ketika beliau hadir di tempat itu, mereka meminta kepada beliau untuk membuat sebuah keputusan yang terbaik, guna mencegah perkelahian di antara mereka.”“Apa yang dilakukanya saat itu ?”“Beliau menghamparkan kain yang panjang, lalu beliau meletakkan hajar aswad di atas kain tersebut. Beliau meminta kepada semua perwakilah suku untuk memegang kain tadi, sementara hajar aswad beliau sendiri yang mengangkatnya dan meletakkannya ke dinding Ka’bah.” Ustadz berhenti sejenak, lalu bertanya : “Apa itu bukan sebuah kecerdasan ?”“Saya akui, itu adalah sebuah kecerdasan.” Jawab pak Guntur.“Untuk masalah tidak bisa baca tulis, sebenarnya ada hikmah tersendiri bagi diri Rasulullah SAW dan umat Islam pada umumnya.” Ustadz Hamdi melanjutkan pembicaraanya.“Apa, itu…. ?” Tanya pak Guntur.“Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki nilai sastra yang sangat tinggi. Ketinggiannya melebihi ketinggian kesusastraan bangsa Arab saat itu. Kalau saat itu Nabi Muhammad SAW bisa membaca dan menulis, apalagi kalau beliau pernah belajar sastra. Mereka akan menganggap bahwa Al-Qur’an adalah buatan nabi Muhammad SAW, dan itu telah dituduhkan oleh orang-orang yang membenci Islam di zaman sekarang.”“Iya saya pernah dengar, bahwa Al-Qur’an adalah riwayat hidup Nabi Muhammad yang dibuat oleh dirinya sendiri.“Karena keberadaan nabi tidak bisa baca tulis, dan beliau sendiri tidak pernah belajar sastra kepada siapapun dimasa itu, maka anggapan mereka dengan sendirinya terbantahkan.”“Bisakah pak ustadz memberikan contoh yang lebih spesifik ?”“Oke…” Kata ustadz Hamdi sambil sedikit merenung. “Kalau Kalau saya menjadi seorang penggembala kambing, kemudian saya memiliki rumah lima lantai. Kalau bapak bertanya kepada saya, rumah ini siapa yang buat, lalu saya jawab, saya sendiri yang membuatnya. Apa yang bertanya tadi akan percaya ?”“Ya…., tidak lah.”“Kalau saya katakan bahwa rumah itu pemberian seseorang, saya diminta agar saya menjaga dan merawat, dan menempatinya, apa bapak akan percaya ?”“Tentu…., saya akan percaya.”“Kalau saya seorang arsitek, kemudian saya katakan bahwa rumah itu saya yang merancang dan saya yang membuatnya, apa bapak akan percaya ?”“Tentu saja saya akan percaya, karena seorang arsitek memiliki kemampuan untuk membuat rumah seperti itu.”“Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang tidak bisa baca tulis, beliaupun tidak pernah belajar sastra kepada siapapun. Kalau ada orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad SAW, apa itu masuk akal ?”“Tidak…”“Ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah wahyu yang diberikan Allah kepadanya, untuk disampaikan kepada manusia, masihkah akal akan menolaknya ?”“Seharusnya tidak.”“Nah…, itulah salah satu hikmah dari kondisi nabi Muhammad SAW itu ummiy.”“Sekarang saya paham dan saya mengerti.” Kata pak Guntur sambil mengangguk-anggukan kepalanya.“Alhamdulillah !” Spontan ustadz Hamdi mengucapkan kalimat itu. Dia bersyukur pak Guntur dapat memahami apa yang disampaikannya. Dia juga bersyukur karena Allah telah membimbing dan mengarahkannya sehinga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan pak Guntur dengan mudah dan bisa diterima dengan mudah pula.Kreator :Baenuri
Suasana di stadion Pakansari di hari Minggu ini terasa lebih ramai dibanding dengan minggu-minggu sebelumnya. Orang-orang yang berolahraga sangat banyak, mulai dari anak kecil, sampai manula. Mereka berputar mengitari stadion, ada yang berjalan santai, ada yang joging, bahkan ada yang sprint. Di pojok Selatan stadion Pak Guntur duduk di bawah sebuah pohon yang cukup rindang dengan beralaskan tikar sewaan sambil mengipas-ngipas tubuhnya karena kegerahan setelah jogging berapa putaran. Dia menunggu kedatangan ustadz Hamdi yang sudah berjanji untuk ketemu di tempat itu. Kurang lebih setengah jam kemudian ustadz Hamdi pun datang.“Assalamu alaikum, pak !” Ucap ustadz Hamdi.“Waalaikumsalam !” Jawab pak Guntur sambil menyodorkan tangan kanan nya untuk bersalaman.“Tadi saya sudah kesini, karena bapak belum ada, saya muter lagi.”“Tadi saya nyari toilet dulu, pak.Silahkan duduk, pak ?”“Anak dan istri bapak, tidak ikut ?” Tanya ustadz Hamdi setelah mengambil posisi duduk.“Ikut…., tapi biasalah ….., mereka cari-cari jajanan dulu.” Jawab pak Guntur.“Permisi, pak. Ini pesanan minumanya …. !” Seorang pedagang minuman mengantarkan pesanan pak Guntur.“Oh.., iya. Simpan di sini saja, mas !” Pinta pak Guntur“Berapa, mas ?” Tanyanya setelah pedagang menaruh gelas minuman.“Tiga puluh ribu saja, pak.” Jawab pedagang“Tiga puluh ribu satu gelas ?” Tanya pak Guntur.“Tidak, pak. Satunya lima belas ribu. Jadi semuanya lima belas ribu.” Jelas pedagang.“Oh….” Ucap pak Guntur sambil mengeluarkan duit lima puluh ribuan. “Ini uangnya…, sisanya kamu ambil saja !”“Terima kasih, pak. Semoga …., rizki bapak tambah berkah !”“Aamiin……!” Pak Guntur dan ustadz Hamdi mengaminkan.“Mari, pak !” Kata pedagang.“Mangga…. !” Jawab pak Guntur, menirukan bahasa orang Sunda.“Alhamdulillah…., pagi ini, bapak sudah membuat orang bergembira.” Ucap ustadz Hamdi.“Ah…., itu tidak seberapa dibanding sedekah ilmu yang pak ustadz berikan kepada saya.” Kata pak Guntur sambil mendekatkan gelas ke depan ust. Hamdi. “Silahkan, pak !” Dia mempersilahkan.“Terima kasih !” Ucap ustadz Hamdi. Dia Pun mengambil gelas minuman dan meminumnya. “Oh, iya apa tema pembicaraan kita hari ini ?” Tanyanya.“Hari ini saya ingin penjelasan dari bapak, mengenai malaikat.”“Malaikat …. ?”“Iya…!” Jawab pak Guntur. “Tolong deskripsikan kepada saya, apa itu malaikat !” Pintanya.“Malaikat adalah makhluk yang Allah ciptakan dari cahaya. Malaikat termasuk makhluk yang sangat setia kepada Allah. Mereka selalu melakukan apapun yang Allah perintahkan tanpa melakukan pembangkangan sedikitpun.” Ustadz Hamdi mulai menjelaskan.“Kenapa bisa begitu ?”“Karena malaikat tidak diberikan nafsu, baik nafsu makan ataupun syahwat. Beda dengan kita…., kita diberikan nafsu dan akal oleh Allah SWT. Nafsulah yang mendorong orang melakukan pembangkangan, sedangkan akal merupakan penimbang baik dan buruk pada diri seseorang.”“Bagaimana dengan hewan ?” Tanya pak Guntur.“Hewan hanya diberikan nafsu, tidak diberikan akal.”“Di Antara malaikat, manusia dan hewan, mana yang paling tinggi derajatnya?”“Manusia yang menggunakan akalnya dengan baik, derajatnya akan melebihi derajat malaikat, sebaliknya manusia yang terlalu memperturutkan hawa nafsu derajat akan lebih rendah dari hewan. Itu artinya, derajat manusia bisa lebih tinggi dari malaikat dan hewan, tapi juga bisa sebaliknya.” Jelas ustadz Hamdi.“Saya dengar ….., ada malaikat pencatat amal baik dan amal buruk.“Iya…, itu benar. Malaikat Raqib pencatat amal baik, dan malaikat Atid mencatat amal buruk.”“Nah …., ini yang ingin saya tanyakan.” Kata pak Guntur.“Apa yang ingin bapak tanyakan ?” Tanya ustadz Hamdi.“Beberapa pertemuan yang lalu, pak ustadz mengatakan bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Maha Melihat, dan Maha Mengetahui.”“Betul …..”“Kalau begitu, kenapa Allah menciptakan malaikat untuk mencatat amal manusia. Bukankah itu bisa menunjukan satu kelemahan bagi Allah ?”“Allah menyuruh malaikat untuk mencatat amal itu, bukan untuk kepentingan Allah, tapi untuk kepentingan manusia itu sendiri.”“Maksudnya ?”“Begini, pak…, Manusia itu memiliki sifat pembangkang. Kalau disuruh mengerjakan sesuatu, suka bertanya kenapa dan untuk apa. Kalau diberi kesusahan, tidak sedikit diantara mereka yang bertanya, apa salah saya, sehingga Allah memberikan kesusahan seperti ini. Bukankah begitu ?”“Iya….” Ucap pak Guntur sambil menganggukan kepala “Tapi…., apa hubunganya dengan catatan amal.?” Tanyanya lagi.“Catatan amal itu, nantinya akan dijadikan bukti tertulis di hari kiamat.”“Maaf…, saya masih belum paham. Bisakah bapak memberikan contoh yang spesifik !” Pinta pak Guntur.“Kalau saya sebagai seorang petugas kepolisian, lalu saya datang ke rumah bapak, dan akan membawa bapak ke kantor polisi. Kira-kira apa yang akan bapak lakukan ?”“Ya…., saya akan bertanya, apa salah saya ?”“Kalau saya tunjukan bukti kepada bapak bahwa bapak telah melakukan pelanggaran moral misalnya, dan bapak merasa telah melakukan pelanggaran itu. Apa yang akan bapak lakukan ?”“Kalau memang ada bukti, ya …, saya tidak mungkin mengelak.”“Begitu pula dengan Allah, pak. Allah dengan kemahakuasaan nya bisa saja menetapkan bahwa si A masuk Surga, Si B masuk Neraka. Bagi si A mungkin tidak akan protes karena vonisnya Surga. Tapi bagi si B, dia pasti akan bertanya-tanya kenapa harus masuk Neraka. Ketika itulah Allah akan tunjukan catatan amalnya saat di dunia. Semua yang pernah dilakukannya akan terlihat olehnya. Kalau sudah begitu, terpaksa atau dipaksa dia akan ikut dengan kelompok orang-orang yang digiring ke Neraka.”“Iya…. ya.” Pak Guntur mengangguk-anggukan kepala, “Saya paham sekarang. Jadi intinya…., Allah menciptakan Malaikat pencatat amal itu, bukan sebuah kelemahan Allah atas diri-Nya, tapi sebagai alat pembungkam atas pembangkangan yang akan dan telah dilakukan oleh manusia.” Dia menarik kesimpulan dari apa yang dijelaskan oleh ustadz Hamdi.“Iya….., kesimpulan yang sangat tepat.”Ucap ustadz Hamdi sambil tersenyum. Bangga atas daya tangkap pak Guntur, meskipun umurnya sudah memasuki kepala lima.Saat itu Lisa dan ibunya datang menghampiri mereka, dengan jajanan di tangan kanan dan kiri mereka.“Assalamu alaikum !” Ucap Lisa“Wa alaikum salam !” Jawab pan Guntur dan ustadz Hamdi berbarengan.“Udah ngajinya ?” Tanya ibunya Lisa“Baru nyampe kesimpulan “ Jawab pak Guntur.“Kalau udah kesimpulan berarti selesai dong ?” Ucap Lisa.“Yah karena sudah ada kalian, ya sudah…., ngajinya ditunda dulu.” Kata pak Guntur.“Jadi kita mengganggu, nih ?” Ucap ibunya Lisa.“Engga.., sudah selesai kok.” Ustadz Hamdi menengahi“Ini kita udah beli makanan nih, bagaimana kalau kita langsung santap sekarang ?” Ibunya Lisa menurunkan plastik dan mengeluarkan isinya berupa nasi bungkus dan beberapa makanan lainya.“Boleh…. Tapi…., bagaimana kalau kita foto bersama dulu ?”“Ok….” Jawab LisaMereka berfoto bersama memanfaatkan momen yang jarang-jarang mereka temui. Kebetulan tukang minuman datang untuk mengambil gelas. Lisa memintanya untuk memfoto mereka.Kreator :Baenuri
Tiga tahun Hernowo menduda. Dirasakan hidupnya penuh kehampaan. Tak lagi dia dapatkan senyum yang menyambutnya dikala pulang dari kantor, tak lagi dia dapatkan seseorang yang selalu setia mendampinginya dalam segala kesempatan, memberinya saran dan pendapat dalam menghadapi persoalan hidup, dan menghiburnya di kala duka. Sementar Hartati, satu-satunya buah perkawinan dengan istrinya yang telah lebih dulu dipanggil Sang Khalik, bagaikan burung yang terlepas dari sangkarnya. Terbang dengan bebasnya, tak peduli siang ataupun malam. Melihat kenyataan seperti itu, timbul di hatinya untuk kembali mempersunting seorang istri. Namun, tantangan selalu menghalanginya“Pokoknya, saya tidak mau mempunyai ibu tiri “ Jawaban seperti inilah yang sering kali keluar dari mulut anaknnya di kala dia mengutarakan niatnya.Suatu pagi, dia mencoba mendekati anaknya kembali. Kata penolakan pun kembali dia dapatkan.“Maksud papa baik kok, nak. Papa takut, kamu merasa kehilangan kasih sayang. Kamu tahu sendiri kan, papa jarang sekali ada di rumah. “ Rayu Hernowo“Apa yang akan saya dapatkan dari ibu tiri, pa ? Apa papa mau, anak papa menjadi korban kekejamannya ? Hartati mengutarakan kekhawatirannya.“Mamamu yang baru, tidak akan seburuk yang kau duga, nak. Percayalah… !” Tegasnya sambil mengangkat cangkir yang berisikan kopi susu buatan pembantunya yang tinggal setengahnya lagi. Dia meminumnya hingga habis. “Papa telah banyak makan garam kehidupan, nak. Tentunya papa tidak akan keliru memilih orang yang akan menggantikan mamamu almarhumah. “ Lanjutnya“Tidak pernah ada berita seorang ibu tiri yang sayang pada anak tirinya, pak.” Hartati tetap pada pendiriannya. Dia tidak lagi merasa takut pada papanya. Barangkali pengaruh teman-temannya mulai merasuk dalam dirinya.Hernowo merasa sangat jengkel attas ucapan Hartati anaknya. Namun, dia berusaha untuk menahan amarahnya.“Tidak senua ibu tiri itu kajam, nak. Percayalah …! Kembali dia menegaskan“Yang akan dijadikan istri oleh papa itu, masih gadis atau sudah janda ?” Tanya Hartati seolah-olah memberikan harapan.“Dia sudah janda, nak. Dan…, dia belum punya anak.” Jelas Hernowo dengan wajah yang sedikit senang“Heh…! Apalagi janda.” Kata Hartati dengan penuh ejekan“Kenapa ?”“Kalau dia istri yang baik, tidak mungkin kan, dia bercerai. ?“Suaminya meninggal dunia, nak. Sama dengan mamamu .” Suara Hernowo mulai terdengar keras.Mendengar ucapan papanya tersebut, kembali Hartati terdiam. Alasan-alasannya kali ini tak mampu membendung keinginan papanya.“Bagaimana, nak ?” Tanya Hernowo dengan penuh harapan“Maaf, pa ! Saya tetap tidak mau mempunyai ibu tiri. Kalau papa merasa kesepian, lebih baik papa pergi saja ke tempat kupu-kupu malam !.”“Apa ?” Hernowo sampai terbangun dari duduknya. Matanya terbelalak mendengar apa yang dikatakan anaknya.“Disana papa bisa memilih siapa saja yang papa sukai.” Hartati masih melanjutkan kata-katanya, seolah-olah dia tidak melihat perubahan mendadak yang terjadi pada diri papanya. Dia pun bangkit, dan bermaksud meninggalkan papanya .“Hartatiiii … !” Tak sadar Hernowo berteriak sambil menarik tangan anaknya hingga terjatuh. Sambil mengangkat kerah baju anaknya agar bangun, dia kembali berteriak : “Kau anggap apa papamu ini ? Apa kau mau papamu jadi bajingan, hah ?”Hartati tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menundukan kepalanya sambil menahan rasa sakit, karena kepalanya sempat membentur pinggir meja saat Hernowo menarik tangannya.“Ayo jawab !” Bentak Hernowo dengan napas turun naikMerasa tidak dicurangi, Hernowo mengangkat tangannya dan menampar muka anaknya.“Pak Hernowo, jangan pak, jangan … !” Teriak bi Iroh yang baru saja datang dari dapur, ketika Hernowo mengayunkan tangannya kembali“Bi…., “ Hartati memburu bi Iroh, dan langsung menangis di dadanya.“Tinggalkan dia, Bi !” Pinta Hernowo dengan penuh kebencian“Sadar pak, sadar… ! Tidak baik bertindak seperti ini.” Bi Iroh berusaha menenangkan majikan nya. “Malu kan, bila tetanggapada tahu …” Sambungnya lagi.Mendengar ucapannya pembantunya Hernowo tidak berkata apa-apa lagi. Dia pergi meninggalkan Hartati yang masih menangis di dada pembantunya yang belum tahu persoalannya itu.Tiga hari setelah kejadian itu, penyakit yang diderita Hernowo kembali kambuh. Kekecewaan yang menimpa dirinya menambah parah penyakit yang dideritanya, sehingga menyulitkan dokter yang merawatnya.Penyesalan dan rasa berdosa terhapap orang tua, mulai menyelimuti diri Hartati. Hampir tiap malam dia di kejar-kejar mimpi buruk. Seringkali dia menjerit-jerit minta tolong dalam tidurnya, dan mengangis tersedu-sedu bila bi Iroh telah membangunkanya serta ingatannya telah pulih kembali.Suatu malam Hartati memutuskan untuk tidak tidur di rumahnya. Dengan mengendarai sepeda motor, dia melaju ke arah barat dari rumahnya. Kira-kira setengah jam kemudian, dia membelokan sepeda motornya ke sebuah gang dan berhenti di sebuah rumah.“Tok…tok…tok…!” Dia mengetuk pintu rumah itu. “Assalaamu alaikum …!” Menyusul suaranya.“Wa’alaikum salam…!” Suara seorang wanita menjawab dari dalam. “Oh…, Hartati. Silahkan masuk, nak !” Kata wanita itu setelah membukakan pintu.“Bu…, bo…, bolehkan saya menginap di rumah ibu ?” Tanyanya dengan penuh harap, setelah wanita yang pernah menjadi wali kelasnya waktu dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama itu mempersilahkan duduk.Wanita yang biasa di panggil bu Dian itu, menatap wajah Hartata, seolah-olah ingin tahu isi hatinya sebelum dia memberikan jawaban. “Papamu sudah tahu, nak ?” Sambil tersenyum dia berbalik bertanya.“Yang tahu hanya bi Iroh saja, Bu.”“Papamu ?”Hartati menggelengkan kepala. “Papa…, papa di rumah sakit, bu ‘’… “ Jawabnya sambil menundukan kepala.“Di rumah sakit … ?” Bu Dian nampak sangat terkejut mendengar keterangan bekas anak didiknya yang kini telah duduk di kelas sebelas Sekolah Menengah Atas itu. “Sudah lama sakitnya, nak ?” Tak terasa dia bertanya seperti itu.“Sudah satu minggu, bu “ Jawab Hartati pelan “Saya takut…, saya takut, bu….” Kali ini Hartati sudah tidak sanggup membendung tangisannya. Dia menangis tersedu-sedu.Bu Dian, membiarkan dulu Hartati melepaskan tangisannya. Dipegangnya pundak Hartati, lalu ditariknya sehingga kepalanya bersandar di dadanya. “Kalau dengan menangis hatimu bisa lebih tenang, menangislah nak…! Ibu akan menemanimu disini. “ kata bu Dian sambil membelai rambut Hartati.Setelah agak tenang Hartati menjelaskan apa-apa yang telah terjadi di rumahnya. Semuanya diceritakannya, tanpa satupun yang dilewatkan atau disembunyikannya. Ia pun mengakui bahwa papanya sudah hampir satu tahun meminta agar dirinya mau menerima seorang ibu yang akan menggantikan tugas-tugas mamanya yang telah tiada. Sementara Ibu Dian terlihat sangat sedih mendengarkan cerita Hartati. Tak terasa dari kedua matanya mengalir air mata yang cukup deras.“Mengapa ibu ikut menangis, bu ?” Tanya Hartati Setelah selesai bercerita“Ibu kasihan pada calon isteri papamu, nak. Barangkali, dia sudah tidak sadar lagi menunggu keputusanmu.” Jawabnya sambil menghapus air mata yang meleleh di pipinya.“Tolonglah saya, bu …! Dalam hati kecil, saya tetap tidak mau mempunyai ibu tiri. Tapi, saya sangat menginginkan papa pulih kembali dari sakitnya. Apa yang harus saya lakukan, bu ?”Di minta pandangan seperti itu, bu Dian hanya memandang raut muka Hartati. Dia nampak sangat kebingungan, mukanya pun nampak sedikit memerah. “Hartati …!” ucapnya pelan. “Apa kau sudah tahu, siapa calon ibu tirimu itu ?” Tanyanya seolah-olah ingin tahu kedalaman isi hati Hartati.Hartati tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala.“Hartati … ! Kamu tahu, polisi lalu lintas itu termasuk abdi Negara yang sangat besar jasanya pada masyarakat. Namun, citra mereka sangat rendah di mata para pengemudi. Hal itu disebabkan karena ada beberapa diantara mereka yang bersikap kurang wajar ketika menjalankan tugasnya. Apa karena segelintir diantara mereka yang bertindak tidak wajar, lantas semua polisi dianggap salah ? Tentunya tidak, kan ?” tanyanya dengan tatapan mata yang mendalam.Hartati membenarkan ucapan gurunya dengan anggukan kepala.“Begitu pula dengan ibu tiri, nak. Tidak semuanya berprilaku jahat terhadap anak tirinya, ” Ucap bu Dian.Belum sempat bu Dian melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu.“Assalamu alaikum !” Ucap orang yang ada di balik pintu“Wa alaikum salam ! Jawab Hartati dan bu Dian.“Ada apa, om ?” Tanya Hartati pada orang yang berdiri di depannya, setelah pintu dibuka.“Papamu meminta agar kamu datang ke rumah sakit. Kayanya ada sesuatu yang hendak beliau sampaikan padamu.”“Malam ini ?”“Iya…” Ucap laki-laki itu sambil menganggukan kepalaHartati mengalihkan pandangannya pada bu Dian, seolah-olah meminta pertimbangan.“Pergilah, nak …!”“Tapi bu…,”“Nanti kita bicara lagi.” Potongnya. “Sekarang…, temui dulu papamu ! Dan…, kalau tidak keberatan, ibu juga ingin melihat keadaan papamu .”“Tidak, bu. Saya tidak keberatan. Saya malah merasa senang kalau ibu bersedia menemani saya ke rumah sakit.”“Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang…!” Ajak laki-laki yang sering di panggil om Hardi itu. “Tati…, sebaiknya kamu dan bu guru naik mobil saja. Sepeda motor biar saya yang bawa. “ Aturnya.“Mobil umum, Om ?” Tanya Hartati.“Mobilnya pak Heri. Bi Iroh sudah ada di sana.”“Bi Iroh ikut juga ?”“Papamu minta dibawakan sesuatu oleh bi Iroh.” Jelas om HardiHartati dan bu Dian berjalan menuju jalan raya, diikuti oleh Om Hardi yang mendorong sepeda motor. Baru saja yang ditungguinya kelihatan, pengemudi mobil yang ditumpangi oleh bi Iroh itu langsung menghidupkan mesin mobilnya, seolah-olah tidak ingin berlama-lama di tempat itu.Tidak sampai setengah jam, mobil itu telah sampai di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar dimana Hernowo di rawat. Didapatinya adik dari Hernowo yang biasa bergiliran dengan bi Iroh tengah menangis tersedu-sedu. Sementara dokter dan suster yang merawatnya hanya bisa menundukan kepala.“Papa …. !” Hartati menjerit menyaksikan papanya yang sudah berdaya itu. “Dokter…., tolong papa saya, tolong papa saya, dokter !” Hartati memohon-mohon pada dokter.“Sabar ya nak, sabar … !” Om Hardi berusaha menenangkan Hartati.Perlahan-lahan Hernowo membukakan matanya. Nampak jelas berkaca-kaca. Bola matanya mulai bergerak ke kiri dan kanan, seolah-olah ada yang tengah dia cari. Orang-orang yang ada di situ, ditatapnya satu persatu. Ketika tatapannya sampai ke arah bu Dian, nampak mulutnya mengucapkan sesuatu. Namun tak seorangpun mengerti maksud dari kata-kata itu.Kembali Hernowo memejamkan mata, sementara orang-orang yang ada disekelilingnya saling pandang. Namun, tak seorangpun mengeluarkan kata-kata. Ketika matanya dibukakan kembali pandangannya masih tertuju pada bu Dian. Kali ini, tangan kanannya diangkat sedikit.Bu Dian mengerti apa yang diinginkan oleh Hernowo. Dia mendekat dan menerima tangan Hernowo. Sambil menangis, dia mencium tangan orang yang selama ini sangat dia cintai itu. Ya…., dialah wanita pilihan Hernowo, dia pula wanita yang telah dimintakan pendapatnya tentang ibu tiri, dan dialah orang yang dirasakan paling sayang pada dirinya oleh Hartati, sehingga dia mau menceritakan segalanya.Baru saja bu Dian melepaskan pegangannya, nyawa Hernowo pun menghilang. Tinggalah tubuh yang terbujur kaku yang ditangisi oleh kekasih hati, karib kerabat, dan anak semata wayangnya yang meronta-ronta, menjerit, menangis. Dia sangat menyesal. Karena keegoisanya, dia harus berpisah dengan papa nya untuk selama-lamanya. Karena keegoisannya dia telah menutup harapan bu Dian, satu-satunya guru yang selalu mendengar curhatan-curhatanya saat dia menjadi wali kelasnya. Karena keegoisan dia telah kehilangan segalanya.Usia Hartati kini, sudah menginjak 35 tahun. Dia memutuskan untuk tidak menikah, karena bayangan kesalahan masa lalu, selalu menyelimutinya.Kreator :Baenuri
Mendekati bulan suci Ramadhan, di kampung-kampung maupun di kota-kota ada semacam tradisi yang melekat pada masyarakat, yaitu melakukan kunjungan ke makam keluarga. Membersihkan sampah atau dedaunan, mencabut rerumputan yang tumbuh di sekitar makam, yang diakhiri dengan berdzikir dan berdo’a yang ditujukan untuk arwah orang-orang yang mereka sayangi. Resti wanita paruh baya, baru saja meninggalkan Tempat Pemakaman Umum (TPU) dimana suami, dan kedua orang tuanya dimakamkan di sana. Hari itu dia memutuskan untuk pergi sendirian ke pemakaman, karena kedua anaknya masih pada sibuk bekerja. Dia berjalan menyusuri jalan kecil yang menghubungkan antara pemakaman dan perkampungan. Dari kejauhan dia melihat sebuah pohon yang cukup rindang. Tepat di depan pohon itu dia berhenti, matanya melihat kekiri dan ke kanan, seakan-akan ada yang tengah dia cari. Perlahan dia berjalan ke bawah pohon.“Dulu…, disini ada bangku yang cukup lebar.” Gumamnya dalam hati. Pikiranya mulai melayang kemasa silam. Tiga puluh tahun yang lalu, dimana dia duduk di tempat itu dengan Ahmadi, laki-laki yang pernah dia cintai dan Ahmadipun sangat mencintainya.“Bagaimana Resti …. ?” Tanya Ahmadi saat itu.“Ahmadi….., kayanya….., hubungan kita tidak akan bisa berlanjut sampai ke jenjang yang kita harapkan.”“Kenapa ? Tanya Ahmadi“Ayahku….., ayahku …..”“Kenapa dengan ayahmu ? ““Ayahku ….. menerima pinangan orang lain, Ahmadi….” Jawab Resti dengan tangisannya yang mulai pecah.“Terus…., kamu setuju ?”“Maafkan aku, Ahmadi…., Aku tidak bisa menolak keinginan ayahku.”Mendengar jawaban dari Resti seperti itu, Ahmadi menarik napas dalam-dalam lalu melepasnya sampai terdengar keluhanya. Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam lagi, lalu dia teriak sekeras-kerasnya. Selanjutnya dia mengambil beberapa batu yang ada di sekitar itu, lalu melemparkannya ke persawahan yang membentang di depanya.“Hentikan, Ahmadi…., hentikan ,,,, !” Resti mencoba menghalangi Ahmadi yang tengah melepas segala kekecewaannya.Ahmadi berlutut dengan kedua tangan di muka, butiran peluh dan tetesan air mata mengucur cukup deras. Dia tidak bicara, hanya napasnya yang nampak turun naik.“Kalau kamu mau marah, marahlah sama aku, Ahmadi. Kalau perlu pukul aku, sampai kamu merasa puas !” Resti menyodorkan tubuhnyaAhmadi memandang Resti dengan mata berbinar-binar. “Tidakkah kamu katakan pada ayahmu, kalau kamu sudah memiliki kekasih, Resti ? Tidakkah kamu katakan ?” Bentaknya“Aku sudah mengatakannya Ahmadi, aku sudah mengatakannya. Tapi ayahku tetap tidak menghiraukanya.” Jawab Resti“Siapa nama laki-laki itu ?”“Mansur ….” Ucap Resti sambil menundukan wajahnya“Mansur ? Mansur anak juragan sayur itu ?”Resti tidak menjawab dengan kata-kata, dia hanya menganggukan kepalanya tanda membenarkan apa yang dikatakan Ahmadi.“Pantas orang tuamu menerimanya, karena dia jauh lebih kaya dari aku. Kamu juga suka kan sama dia ?” Ahmadi bertanya dengan nada sinis pada Resti.“Aku sudah katakan, aku tidak berdaya Ahmadi, aku tidak berdaya.” Jawab Resti diiringi dengan isak tangis yang semakin meninggi. “Sampai detik ini……, aku masih mencintaimu Ahmadi…… !” Lanjutnya di tengah-tengah isak tangisnya.“Resti ……! Ucap Ahmadi dengan nada datar. “Berhentilah menangis ! Karena tangisanmu tak akan mengubah keadaan.” Pintanya“Menurut kamu, apa yang dapat mengubah keadaan? Apa kamu mau mengajak aku kabur.?” Resti menatap Ahmadi. “Kalau kamu sanggup, aku siap ikut denganmu.”“Tidak….., aku tidak akan melakukan tindakan sekonyol itu. Aku lebih baik mengalah. Aku akan pergi meninggalkan kampung ini, sekaligus aku mencoba mengeluarkan diriku dari hatimu. Dan aku harap, kamu pun harus berusaha keluar dari hatiku“Kamu mau kemana, Ahmadi ?”“Entahlah ….., yang jelas aku akan menjauh dari sini.”“Ibumu…., bagaimana ?”“Kalau dia mau, aku akan mengajaknya. Kalau dia tidak mau, aku akan titipkan ke kakaku yang ada di kampung sebelah.”“Maafkan aku Ahmadi …., maafkan aku … !” Resti memeluk tubuh Ahmadi diiringi isak tangis yang semakin tak tertahankan.Ahmadi melepaskan pelukan Resti. Dihadapkannya wajah Resti ke wajahnya. Ditatapnya dia dalam-dalam, seakan-akan itu adalah tatapannya yang terakhir. Lalu dia tengadahkan mukanya ke atas pohon.“Pohon ini adalah saksi bisu cinta kita. Dulu kita bertemu disini, dan sekarang kita berpisah disini pula. Kudoakan semoga kamu bahagia hidup dengan orang pilihan kedua orang tuamu. Assalamu alaikum …. !” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Ahmadi langsung balik kanan lalu pergi meninggalkan Resti sendirian.“Wa alaikum salam “ Hanya itu yang terucap dari mulut Resti. Tidak ada kata- kata lain. Dia setengah tidak percaya terhadap kejadian yang terjadi begitu cepat. Matanya tidak berkedip menatap Ahmadi yang sedang berjalan gontai, hingga menghilang ditelan persimpangan.Resti menjatuhkan dirinya, duduk berlutut di atas tanah. “Ahmadi… Ahmadi…. Ahmadi ….!” Ucapnya di tengah isak tangisnya.Saat itu seorang anak muda datang menghampiri Resti. Dia adalah Ridwan, anak kedua dari hasil perkawinannya dengan Mansur.“Mamah …. !” Ucap Ridwan dengan suaranya pelan, sambil memegang pundak ibunya yang sedang bersimpuh.Sekalipun suara Ridwan pelan, Resti tetap terlihat kaget. Dia segera menghapus air matanya yang masih tersisa. Kabur sudah semua kenangan nya dengan Ahmadi.“Ada apa, mah ….? Kenapa mama menangis ?” Dua pertanyaan langsung datang dari anaknya.“E …. eng… nggak apa-apa, mama ga apa-apa ?” Jawabnya gugup“Kalau ga apa-apa, kenapa mamah menangis ?”“Mamah hanya ingat, papah kamu saja.” Jawabnya berusaha menutupi apa yang telah terjadi pada dirinya.“Kalau ingat papah, kenapa nangisnya disini ?” Kata Ridwan setengah tidak percaya.“Kan kalau nangis di kuburan itu ga boleh, begitu kan kata pak Ustadz ?” Resti mencoba membela diri. Dia berusaha untuk tersenyum, menutupi kebohongannya.“Ah …., mamah ada-ada aja.” Kata Ridwan. “Mamah sudah ke makamnya ?” Tanyanya“Sudah……., tapi mamah belum membersihkan rerumputan yang tumbuh di makam papah kamu.”“Kenapa ?”“Nunggu kamu saja.”“Ya… udah, yuk kita bersihkan !” Ajak Ridwan“Ayooo. “ BalasnyaRidwan menuntun mamanya menuju pemakaman untuk membersihkan rerumputan yang tumbuh di sekitar makam papah, kakek, dan neneknya. Resti merasa sangat bersyukur anaknya tidak menayakan lebih jauh, mengenai penyebab dirinya menangis.Sampai Ridwan anak bungsunya berusia dua puluh lima tahun, Resti masih tetap merahasiakan kisah cintanya dengan Ahmadi pacar pertamanya. Yang tahu hanyalah ayah dan ibunya yang kini sudah menempati Taman Pemakaman Umum (TPU) yang sekarang lagi dia ziarahi. Entah sampai kapan dia sanggup memendamnya.Kreator :Baenuri
Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”“Halo…., Assalamu alaikum !”“Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.”“Iya, Lisa….. Ada apa ?“Papa mengundang Bapak, untuk datang ke rumah.”“Kapan ?”“Nanti malam katanya. Bisa tidak pak ?”“Jam berapa ?”“Papa bilang, jam berapa saja pak Ustadz bisanya.”“Kalau begitu, sampaikan pada papa kamu, saya baru bisa datang jam sepuluh malam !”“Siap, pak. Nanti saya sampaikan, Terima kasih, pak ! Assalamu alaikum !”“Wa alaikum salam, warahmatullah wabarakaatuh !Sambal meletakan HP ustadz Hamdi tertegun, dia sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba orang tua Lisa memintanya untuk datang, padahal dua hari yang lalu ketika dia ke rumahnya untuk mengajari Lisa mengaji, dia tidak mengatakan apa-apa. Beberapa pertanyaan mulai timbul dibenaknya saat itu.Pada malam harinya, sesuai janji yang telah disampaikan melalui Lisa ustadz Hamdi mendatangi rumah Pak Guntur orang tua Lisa.“Assalamu alaikum !” Ucap Ustadz Hamdi setelah ada di depan pintu rumah pak Guntur“Wa alaikum salam !” Jawab pak Guntur sambil membukakan pintu.“Silahkan masuk, pak !” Pak Guntur mempersilahkan“Terima kasih !”“Mau minum apa ? Teh, kopi…., atau susu ?” Pak Guntur menawarkan“Teh saja, pak. “ Jawab ustadz Hamdi“Ma……, tolong buatkan teh manis buat pak ustadz !” Minta pak Guntur pada istrinya“Iya, pa…. “ Jawab istrinya dari dalam“Maaf pak, bapak meminta saya datang diluar hari privat anak Bapak, ada apa ya ?” Ustadz Hamdi mulai membuka pembicaraan.“Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada pak ustadz.” Jawab pak Guntur“Tentang apa, pak ?“Tentang penjelasan bapak pada anak-anak saya.”Saat itu isteri pak Guntur datang dengan membawa bakiberisikan teh dan sepiring kue“Silahkan, diminum airnya, pak Ustadz !” Ucapnya sambil meletakan air dan kue untuk dia dan untuk suaminya.“Terima kasih, bu !” Jawab ustadz Hamdi“Mamah di dalam aja, ya !” Pinta pak Guntur pada isterinya, seakan-akan dia tidak mau istrinya tahu tentang apa yang akan ditanyakan pada ustadz Hamdi“Iya, pa ….” Jawab isterinya. Dia membalikan tubuhnya menuju ruang tengah.Sementara ustadz Hamdi sedikit merenung, mengingat-ingat akan apa yang pernah disampaikan kepada Lisa, murid privatnya.“Mengenai apa ya, pak ?” Ustadz Hamdi melanjutkan pertanyaanya.“Mengenai adzab dan nikmat kubur.” Jawab pak Guntur.“Oh….,” Ustadz Hamdi mengangguk-anggukan kepalanya. “Apa yang ingin bapak tanyakan ?” Tanyanya“Apa benar adzab dan nikmat kubur itu ada ?” Tanya pak Guntur“Benar, dan sebagai seorang muslim kita harus meyakini kebenarannya.” Ustadz Hamdi meyakinkan.“Apa bisa dibuktikan ?”“Bisa….”“Bagaimana cara membuktikannya ?”“Dengan cara menggalinya.”“Pernah melakukan ?”“Melakukanya secara langsung, belum pernah. Tapi, ada seseorang yang sangat saya percayai, dia menyaksikan pembongkaran dua kuburan di sebuah kebun, yang kebunya dijual oleh pemiliknya. Kuburan yang pertama berusia sekitar 7 tahun, dan yang kedua berusia 18 tahun. Ketika digali kuburan yang berusia 7 tahun, tulang belulangnya telah hancur dan terkumpul di tengah, sementara yang berusia 18 tahun tulang belulangnya masih berbentuk kerangka manusia.” Jelas ustadz Hamdi.“Yang berusia 7 tahun hancur, yang 18 tahun kerangkanya masih utuh ?”“Iya…..,”“Apa analisa Anda mengenai kedua kuburan itu ?”“Yang tulang belulangnya hancur dan berkumpul di tengah, itu artinya orang itu mengalami penyiksaan di dalam kuburnya, karena dalam sebuah keterangan dinyatakan bahwa bumi menjepit tubuh manusia itu dari kepala ke kaki. Sementara penghuni kuburan yang kedua tidak mengalami penyiksaan, artinya dia mendapatkan kenikmatan di dalam kuburnya. Apakah itu bukan sebuah bukti ?” Ustadz Hamdi balik bertanya.“Nanti dulu….., siapa tahu struktur tanahnya berbeda.” Bantah pak Guntur.“Kedua orang itu dimakamkan berdampingan, apa mungkin struktur tanahnya berbeda ?”“Apa ada bukti lain yang lebih bisa meyakinkan saya ?”Ditanya seperti itu ustadz Hamdi sedikit merenung, dia mencoba mengingat-ingat makam-makam orang besar yang pernah digali kuburannya“Ulama kita yang bernama Imam Nawawi yang berasal dari Banten, ketika makamnya digali tubuhnya masih utuh, tidak rusak sama sekali.” Ucapnya setelah beberapa saat.“Dimana Beliau dimakamkan ?”“Di Mekkah, Saudi Arabia.”“Ada lagi …?”“Paman Rasulullah SAW yang bernama Hamzah, ketika pemakaman dimana beliau dimakamkan terkena longsor mayatnya keluar dari makamnya, tubuhnya masih nampak utuh, bahkan darah yang menempel di tubuhnya masih segar. Padahal usia pemakaman sudah ratusan tahun. Apa masih belum yakin ?” Tanya ustadz Hamdi di akhir pembicaraan.“Dari mana pak ustadz tahu mengenai peristiwa terbongkarnya makam paman Rasulullah ?” Pak Guntur malah balik bertanya.“Silahkan bapak buka youtube cari informasi mengenai peristiwa tersebut !”Pak Guntur diam sejenak sambil menatap wajah ustadz Hamdi, seolah-olah tengah mengukur kejujuran orang yang sedang di depannya tersebut.“Ok, sementara penjelasan ustadz saya terima. Silahkan minum dulu tehnya, mumpung masih hangat.” Pintanya“Terima kasih !” Ucap ustadz Hamdi, sambil mengambil gelas di depanya, lalu meminumnya“Ee…, sebenarnya masih banyak yang ingin saya diskusikan dengan bapak. Kalau bisa pekan depan bapak datang lagi ke sini !” Ucap pak Guntur setelah makan kue yang disediakan isterinya.“Insya Allah, pak. Tapi…, kemungkinan biasanya sekitar jam sepuluhan ke atas lagi.”“Tidak apa-apa, pak. Malah saya lebih senang kalau ngobrolnya malam-malam, Biar tetangga ga pada tahu.” Katanya sambil mendekatkan mulutnya ke telinga ustadz Hamdi.Ustadz Hamdi hanya tersenyum melihat sikap pak Guntur seperti itu.“Kalau begitu, sekarang saya mau pamit dulu.” Ucap ustadz Hamdi, setelah menghabiskan air minumnya.“Ok, terima kasih atas segala penjelasanya ! Ma…., Lisa …., pak ustadz mau pulang !” Panggil pak GunturBeberapa saat kemudian Istri dan anaknya keluar dari ruang tengah.“Terima kasih, pak Ustad !” Kata istri pak Guntur“Terima kasih, pak !” Sambung Lisa sambil menyalami guru Agama di sekolahnya itu.“Sama-sama…., Mari….., Assalamu alaikum !” Ucap ustadz Hamdi.“Wa alaikum salam !” Jawab ketiganya berbarengan. Mereka mengiringi ustadz Hamdi sampai pintu pagar depan.Kreator :Baenuri
Wibowo baru saja bangun dari tidur siangnya saat ada yang mengucapkan salam di depan pintu rumahnya. Karena masih berat dia kembali memejamkan matanya, seakan-akan tak peduli dengan keadaan sekelilingnya.“Assalamu alaikum !” Orang yang berdiri di depan pintu itu, kembali mengulang salamnya.“Wa alaikum salam !” Suara wanita tua menjawab salam, sambil bergegas membukakan pintu.“Ibu…..!” Ucap wanita yang hampir tiga menit berdiri di depan pintu itu menyalami wanita tua yang tiada lain adalah ibunya Wibowo“Bukanya ini…., ?”“Heni, bu.”“Iya…. Heni…., ibu baru ingat sekarang. Apa kabarnya, nak ?“Alhamdulillah, seperti yang ibu lihat. Saya sehat-sehat saja ?”“Sendirian ?”“Iya, bu….. Bowonya ada, bu ?“Adaaa. “ Jawab ibunya Wibowo sambil merapikan taplak meja yang sedikit miring. “Ayo…., duduk dulu, !” Pintanya.“Terima kasih, bu !”“Akhir-akhir ini, Bowo sering malas-malasan. Sebentar ya…., ibu bangunkan dia dulu !“Iya, bu.”Ibunya Wibowo meninggalkan Heni di ruang tamu, dia bergegas menuju kamar anaknya.“Bowooo…., bangun, nak !” Ucapnya setelah berada di dalam kamar, sambil menepuk-nepuk kaki anaknya.Wibowo membukakan kedua matanya. “Jam berapa, bu !” Tanyanya“Jam dua, kamu sudah shalat Dzuhur belum ?”“Sudah bu.”“Ayo, bangun ! Ada tamu tuh, di depan.”“Siapa…. ?”“Heni… ““Heni….. ?” Wibowo tersentak mendengar ibunya menyebutkan nama itu“Iyaaa….”“Dengan siapa ?” Tanyanya“Sendiri.”“Dia sendirian ?” Kembali lagi Wibowo tersentak. “Bukanya …..?”“Sudah…..!” Potong sag ibu. “Samperin aja dulu, kasihan dia sudah terlalu lama menunggu” PintanyaWibowo langsung bangun. Dia kebelakang sebentar, setelah itu langsung menuju ruang tamu. “Assalamu alaikum…. !” Ucapnya setelah berada di belakang Heni, wanita yang dulu sempat singgah di hatinya itu.“Wa alaikum salam…. !” Jawab Heni sambil membalikan badanya, menghadap sumber suara.“Bowo….., apa kabar ?”“Alhamdulillah, baik.” Jawabnya pendek. “Kamu bagaimana ?” Tanyanya“Seperti yang kamu lihat.”“Yang aku lihat sih, kamu tambah kurus.”Heni sedikit tersentak mendengar ucapan Wibowo seperti itu. “Sok tahu kamu…” Ucapnya dengan raut muka sedikit memerah“Ya sudah…., ga usah dipikirin.” Kata Wibowo sambil mengambil posisi tempat duduk, tepat berhadap-hadapan dengan Heni.“Kata ibumu, sekarang ini kamu suka bermalas-malasan ?”“Yaah, lagi suntuk aja.” Jawabnya pendek. “Oh iya…, sudah berapa bulan kamu menikah ?”“Enam bulan.”“Maafkan aku, ya ! Aku tidak bisa datang di hari pernikahanmu. Aku sakit, sampai aku dirawat di rumah sakit.“Sakit apa ?“Demam Berdarah.”“Iya sudah….., aku ga marah. Cuma sedikit kecewa, dan sempat suudzon pada kamu. Maafkan aku juga ya !”“Kamu sendirian ?”“Iya…”“Kenapa ?”“Kenapa bagaimana ?”“Kamu kan sudah punya suami, kenapa ga dengan suami kamu, sekalian kenalkan aku kepadanya ?”“Sudahlah…., ga usah bicara masalah suami. !”“Suamimu itu raja buat kamu, kemanapun kamu pergi harus dengan izin nya.”“Dia saja ga pernah izin kepadamu. Pergi pergi saja, tanpa basa basi.” Heni mulai memperlihatkan ketidaksukaanya pada suaminya.“Jadi suamimu tidak tahu kalau kamu mau ke rumahku ?” Tanya Wibowo“Kamu ga suka kalau aku kesini ?” Heni menatap tajam pada wajah Wibowo“Masalahnya bukan suka atau tidak suka Heni, Ini menyangkut hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya.” Wibowo mencoba menjelaskan.“Haruskah aku mentaati suami yang hanya mementingkan dirinya sendiri ? Haruskah aku mentaati orang yang tidak pernah taat kepada tuhan nya ?” Heni kembali mengeluarkan kekecewaanya“Kamu kecewa dengan suami kamu ?” Tanya Wibowo lirih“Iya….” Spontan Heni mengiyakan“Heni kamu adalah wanita tegar yang pernah aku lihat. Aku yakin kamu bisa meluluhkan hati suami kamu.” Wibowo mencoba meyakinkan Heni, orang yang idamkan itu.“Aku tak sanggup, Bowo…., aku tak sanggup …. “ Heni menangis sambil menutupkan kedua tangan ke mukanya. Inginya dia menangis dalam pelukan Wibowo, tapi dia sadar dia bukan siapa-siapanya lagi. Dia sudah milik Joko, laki-laki pilihan orang tuanya.“Heni….., kenapa kamu jadi cengeng seperti ini ?” Wiboyo sedikit kalut melihat Heni menangis.“Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan, Bowo …. ““Mau tahu bagaimana…., orang kamu baru datang hari ini. ? Kau kira aku punya ilmu telepati apa ?“Telepati kali…..” Ucap Heni tersenyum di tengah tangisannya. Kalau tidak malu mungkin udah ngakak tertawa, seperti dulu-dulu mereka lakukan“Aku salah, ya ?”“Au ah….,” Jawab Heni sambil menahan tawa“Heni…., aku boleh minta sesuatu padamu ?” Tanya Wibowo setelah agak tenang“Apa….?” Tanya Heni singkat.“Tujuh bulan yang lalu, kita sudah sepakat bahwa kita akan membuang rasa cinta yang pernah ada pada diri kita. Kita akan ubah menjadi persaudaraan. Kamu akan kenalkan aku dengan suamimu, dan aku akan kenalkan isteriku kepadamu.” Wibowo mengenang kembali apa yang pernah terjadi pada mereka.“Tapi …..,kamu kan belum punya isteri….”“Itu artinya…., kita belum saatnya untuk bertemu.”“Maafkan aku, Bowo. Aku lupa akan kesepakatan itu. Aku kesini sebenarnya mau pinjam skripsimu. Bulan depan aku akan ujian.” Heni mencoba menjelaskan perihal kedatanganya di rumah Wibowo“Ya sudah…., tapi jangan lama-lama, ya !”“Kamu kok kaya ga suka banget aku datang ?” Kembali nada suara Heni meninggi“Heni…., aku sangat senang kamu datang. Tapi aku sangat khawatir suamimu tahu kamu kesini. Apalagi kalau sampai dia tahu tentang masa lalu kita.” Wibowo mencoba menjelaskan.“Biar saja, biar dia ceraikan aku sekalian.”“ E, eh…., jangan ngomong begitu. Ingat…, dulu kamu sudah pasrah untuk mengikuti kemauan kedua orang tuamu.“Terus aku harus bagaimana, Bowo…. ? Aku sudah tidak tahan dengan kelakuan suamiku.” Kembali Heni mengeluhkan suaminya.“Heni…., semua orang memiliki sisi baik dan sisi buruk. Lihatlah sisi baik yang ada pada suamimu ! Jangan melihat sisi buruknya ! Mulailah kamu melakukan pendekatan melalui sisi baiknya. Aku yakin, kamu bisa melakukanya.“Bowoo….!” ibu Wibowo memanggil.“Iya, bu….” Jawab Wibowo“Tunggu sebentar, ya !” Kata Wibowo, lalu bergegas menemui ibunya di dapur.“Ada apa, bu ?” Tanyanya setelah ada di belakang ibunya“Tolong bawakan ini, ke depan !” Jawab ibu sambil menyodorkan jus alpukat dan makanan ringan kepada Wibowo“Iya, bu.”“Hati-hati …. !”“Buuu, Bowo bisa minta tolong ga ? Tanya Wibowo sebelum mengangkat baki“Minta tolong apa ?”“Tolong nasehati Heni…. ! Kayanya dia lagi punya masalah dengan suaminya.”“Kamu saja….” Kata sang ibu“Saya takut, bu.”“Takut kenapa ?”“Takut CLBK.”“Apa itu…. ?“Cinta Lama Bersemi Kembali.”“Ah…., kamu ada ada aja.” Kata ibu sambil tersenyum. “Ya sudah bawa dulu itu, ke depan ! PintanyaSaat Wibowo dan ibunya datang dari dapur, Heni nampak lagi telponan dengan seseorang. “Iya….., sebelum dia sampai dirumah, saya pulang. Assalamu alaikum !” Dia mengakhiri pembicaraanya.“Siapa yang nelpon, suamimu ?” Tanya Wibowo“Bukan…., ibuku.” Jawab Henin“Nyuruh pulang, kan ?” Tanyanya lagi dengan posisi masih memegang baki“Iyaaa…” Jawab Heni setengah kesal“Kamu ga boleh pulang sebelum menghabiskan ini semua.” Kata Wibowo sambil meletsakan makanan dan minuman di atas meja“Iyaaa, tar kuhabiskan semua.”“Ayoo, nak Heni. Silahkan dicicipi !” Ibu Wibowo mempersilahkan“Iya, bu…. Terima kasih !“Bu…., saya mau mencari coretan-coretan ujian skripsi dulu di kamar, tolong ibu temanin Heni dulu, ya !“ Pinta Wibowo kepada ibunya.“Ya sudah….., pergi sana !” Jawab sang ibu“Heni…., kamu boleh cerita apa saja sama ibu. Insya Allah ibu akan mendengarkanya dan beliau pasti akan memberikan jalan keluarnya.” Kata Wibowo, lalu balik kanan menuju kamar pribadinya.Sengaja Wibowo berlama-lama di kamarnya, dengan harapan ibunya bisa menasehati Heni yang lagi galau. Setengah jam kemudian dia baru muncul dengan tangan memegang skripsi, yang kemudian diberikan pada Heni“Ini…., kamu bawa pulang, dan ga usah dikembalikan. Aku sudah siapkan, karena feelingku menyatakan kalau kamu akan datang untuk meminjam skripsiku.” Katanya sambil menyodorkan skripsinya.“Terima kasih, ya. Kamu memang sahabatku yang tiada duanya. Ibu terima kasih atas segala nasehatnya. “Ucap Heni dengan senyum di wajahnya“Sama-sama, nak !” Jawab Ibu“Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu alaikum“Wa alaikum salam warohmatullahi wabarokaatuh.” Jawab Wibowo dan ibunya. Keduanya mengantarkan Heni sampai teras rumahnya.Kreator :Baenuri